Kamis, 23 Januari 2014

Mengenal Adat dan Pasang Suku Kajang

oleh : Al Az Ari
 
Masyarakat Suku Kajang


Kajang merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di kabupaten Bulukumba propinsi Sulawesi Selatan. Letaknya kurang lebih 30 km sebelah timur kota Bulukumba. Kecamatan Kajang, di dalamnya terdapat sebuah komunitas suku, mereka hidup berkelompok dan bernaung dalam sebuah kawasan adat. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal modernisasi. Secara turun-temurun adat tradisi yang diwarisi dari leluhur mereka,  tetap dipertahankan dan tetap eksis ditengah arus modernisasi sekarang ini, tercermin dari kebiasaan-kebiasaan mereka. Keunikan budayanya sudah terdengar hingga ke seluruh penjuru dunia. Keunikan ini pula yang membuat Kajang tiap tahunnya dibanjiri wisatawan mancanegara.
 Masyarakat adat di Kajang memang menyimpan begitu banyak cerita bagi setiap pengunjungnya. Keberadaannya yang cukup jauh dari kota membuat masyarakatnya masih menganut sistem tradisional baik dari segi ritual keagamaan ataupun sosial kehidupannya.
Dalam kawasan adat, pakaian menjadi ciri khas tersendiri. Masyarakatnya memakai pakaian serba hitam dan tidak memakai pengalas kaki serta bagi laki-laki yang sudah berkeluarga atau sudah memiliki ciri seorang pemimpin, maka sudah pantas memakai “Passapu” (pengikat kepala, mahkota). Inilah salah satu tradisi yang tetap bertradisi secara turun temurun. Dan selain pakaian hitam yaitu pakaian yang berwarna mencolok seperti pakaian yang warna kuning, orange, merah dan lain-lain itu menjadi pantangan dan tidak boleh dipakai (ada rahasia dibalik rahasia).
 Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan tersebut, pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi mayarakat adat yaitu sebagai simbol kesederhanaan dan kesamaan dalam bentuk wujud lahir serta peringatan akan adanya kematian atau sisi gelap. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang Pencipta.
Tanah leluhur yang terjaga sampai sekarang, penduduk disana menyebutnya “Tanah Toa”. Yaitu Tanah Toa  yang berarti tanah yang tertua, masyarakat disana percaya bahwa asal muasal tanah ang paling awal, yang paling tertua di dunia yaitu di Kajang. Yang sekarang dimekarkan menjadi sebuah nama desa yaitu desa Tanah Toa. Dan khusus kawasan adat disebut kawasan adat “Amma toa”, dengan struktur pemerintahan adat disebut “Pangngadakkang” (struktur adat). Bahasa sehari-hari penduduk disana, berbahasa Konjo dari suku Konjo Kajang.
Pemegang kekuasaan tertinggi di dalam kawasan adat “Amma Toa” adalah “Bohe’ Amma”. Dalam bahasa Indonesia, “Bohe” berarti tua atau tertua atau dituakan (terpandang, didengar). Sedangkn “Amma” berarti ayah atau bapak (laki-laki, sudah berkeluarga). Sehingga dapat diartikan bahwa Bohe’ Amma adalah kepala adat yang dapat membina dan mengarahkan masyarakat adat ke arah  kebenaran, sesuai dengan kepercayaan dan aturan-aturan adat itu sendiri. Tokoh yang satu (tunggal) ini sangat-sangat disakralkan, sampai-sampai tidak boleh diexpos atau tidak boleh diambil gambarnya (sudah menjadi pantangan, ketentuan adat).
Kearifan lokal “Bohe’ Amma” sebagai kepala adat, terlihat pada cara mengarahkan, membina, memutuskan dan memberi kebijakan. Kearifan lokal ini dipegang teguh oleh masyarakatnya dan apabila terjadi penyimpangan di dalamnya, maka sanksi yang jelas dan berat sudah siap menanti pelakunya. Kawasan adat “Amma Toa”  memiliki struktur adat dan tugasnya masing-masing  (Pangngadakkang Na Amma Toa)........  ...............
Mata pencaharian masyarakat  kawasan adat “Amma Toa” suku Konjo adalah mayoritas petani, berladang dan sebagian juga beternak dan berdagang. Hasil-hasil panennya dibawa keluar, diperdagangkan dipasar-pasar tradisional. Namun tak dipungkiri sekarang dengan berjalannya waktu dan berkembangnya  zaman, sudah ada masyarakatnya yang jadi pegawai dan bahkan ada yang terjun dipemerintahan. Namun mereka masih tetap menjunjung tinggi adat tradisi nenek moyangnya.
     Kawasan adat “Amma Toa’’ memiliki aturan adat tersendiri. Aturan-aturan adat tersebut secara tersirat dipaparkan di dalam sebuah pesan. “Pasang Ri Kajang” yang berarti pesan suci dari Kajang.  Secara tidak langsung,  “Pasang Ri Kajang”  dapat dikatakan sebagai kalimat-kalimat atau ungkapan-ungkapan suci yang berisi pesan-pesan lisan dan disampaikan dari mulut ke mulut (bukan secara tertulis). “Pasang Ri Kajang” merupakan pencerahan atau penuntun hidup bagi masyarakat  tanah adat suku Konjo.
“Pasang Ri Kajang” menyimpan pesan-pesan luhur. Yakni, penduduk Tanah Toa harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Lalu, harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. mereka juga diajarkan untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal. “Pasang Ri Kajang” juga mengajak untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya. Yaitu dapat dikatakan bahwa isi “Pasang Ri Kajang”  ada kaitannya dengan hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan makhluk lainnya (alam) dan hubungan manusia dengan Pencipta-Nya. Selain itu,  isi “Pasang Ri Kajang” bercerita tentang masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. “Pasang Ri Kajang” juga merupakan sebuah pesan-pesan moral atau kebajikan dan hakikat-hakikat kebenaran.
Dengan didasari isi  ”Pasang Ri Kajang”, maka terbentuklah aturan-aturan adat.  Yang  berlaku dan harus dipatuhi. Karena itu, bagi yang melanggar aturan adat, diberi sanksi oleh “Bohe’ Amma”. Namun, sanksi-sanksi yang diberikan oleh “Bohe’ Amma” kepada si korban misalnya, itu memilki takaran-takaran sanksi tersendiri.
 Dalam aturan adat, ada yang disebut “ma’ring’’ dan “talama”ring”. Dalam bahasa Indonesia “ ma’ring ” berarti boleh dilakukan atau diperdengarkan, disampaikan  ke orang lain (perintah).  Sedangkan istilah “ talama’ring” berarti tidak boleh dilakukan atau bahkan tidak boleh diperdengarkan, tidak boleh disampaikan ke orang lain (larangan), kecuali orang yang ingin disampaikan tau betul tentang aturan adat. Sehingga dapat dikatakan bahwa aturan-aturan adat yang tersirat dalam “Pasang Ri Kajang” (pesan suci  yang penyampaiannya secara lisan) memiliki batasan-batasan untuk diketahui isi daripada pasang tersebut, termasuk bagi peneliti-peneliti, wisatawan, orang yang tidak punya hubungan darah dengan keturunan suku Konjo. Apalagi untuk dipublikasikan semua isi dari pasang tersebut, dilarang keras kecuali  karena sudah menjadi ketentuan aturan adat.
Sebagaimana dikatakan bahwa ada yang bisa disampaikan (ma’ring merupakan perintah) dan ada yang tidak bisa disampaikan (talama’ring merupakan larangan). Dan adapun “Pasang” yang bisa disampaikan (dipublikasikan) secara langsung, yaitu seperti berikut:      
“Pasang Ri Kajang” ( tentang kegotong-royongan, persaudaraan)
                         A’ lemo sibatu: “ a’ lemo” dalam bahasa Indonesia berarti jeruk yang bulat.
Sedangkan “sibatu” berati utuhsatu (tunggal). Sehingga a’ le,mo sibatu dapat dikatakan sebagai sebuah tekad kebersamaan yang utuh disatukan’. Pasang ini menekankan perlunya sikap persaudaraan.
                         A’ bulo sipappa’:  “a’ bulo” dalam bahasa Indonesia berarti  bagai pohon bambu. “sipappa” berarti sibatang. Sehingga “ a’ bulo sipappa”  maksudnya bahwa sifat yang harus dimiliki oleh setiap makhluk yang sempurna (manusia), harus seperti pohon bambu. Kuat dan tegar bahkan diterpa angin sekalipun dan semakin tinggi semakin merunduk. Guncangan dan cobaan apapun dan bagaimana pun, harus tetap tegar. Pasang tersebut menekankan kedermawanan serta perlunya kerendahan hati dan kejujuran disetiap individu.
                           Tallang sipahua’: “tallang” dalam bahasa Indonesia berarti tenggelam. Sedangkan “sipahua’ ” berarti kembali ke dasar bersama. Jadi “tallang sipahua’ “ adalah pada saat nasib buruk menimpa maka kita harus kembali bersama menyatukan semangat, agar bisa hidup dengan ketentraman di alam yang penuh kedamaian.
                           Manyu’ siparampe:  “ manyu’ ‘’ dalam bahasa Indonesia berarti hanyut atau terhanyut atau terlena. Sedangkan “siparampe” berarti saling mengingatkan. Sehingga “ manyu siparampe” dapat diartikan bahwa pada saat kita terlena dengan suasana yang baru, yang  tidak sesuai lagi dengan aturan-aturan maka hendaknya kita saling introfeksi diri dan mari kita saling mengingatkan untuk ke jalan yang benar.


Pokok aturan dalam kawasan adat “Amma Toa”

Secara umum, ada hal yang menjadi pokok aturan di dalam adat “Amma Toa”  yaitu diantaranya  sebagai berikut:
        1.  Melaksanakan perintah adat dan menjauhi hal-hal yang dilarang.
        2.  Patuh dan taat pada aturan-aturan adat.
        3.  Menghargai dan menghormati aturan adat.
     Pokok aturan tersebut merupakan landasan dalam menjalankan aturan-aturan adat dikawasan “Amma Toa” yang berlaku untuk semua. Maksudnya, bahwa siapa pun itu tanpa pandang buluh, tanpa melihat pangkat, derajat, harkat dan martabat seseorang, kalau melanggar aturan berarti harus dihukum sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Ditekankan pula bahwa sesuatu yang sakral itu tidak boleh diexpose (tidak boleh dipertanyakan kenapa tidak boleh?_ karena sudah menjadi ketentuan adat). Yaitu, bagi orang yang membuat pelanggaran, akan berakibat patal bagi dirinya sendiri. Dan sebaliknya, jika menaati aturan adat maka orang tersebut dijuluki orang yang selamat.
Aturan dalam kawasan adat  “Amma Toa”, sebagaimana dijelaskan sebelumnya ada yang “ ma’ring” (perintah, dibolehkan) dan ada yang “talama’ring” (larangan, tidak dibolehkan), dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu sebagai berikut:
 

Hubungan Manusia dengan Manusia

     Secara umum, hal-hal gambaran yang diperintahkan (ma’ring), yang sudah menjadi keharusan untuk dilakukan dalam kawasan adat (baik antara orang adat maupun orang dari luar) yaitu antara lain:
a.     Berpakaian hitam yang sopan (sarung, celana, baju harus hitam). 
b.     Perkataan atau perilaku seseorang harus dijaga pada saat memasuki   kawasan adat.
c.     Saling menyapa pada saat ketemu atau berpapasan dijalan.
d.    Gotong-royong disetiap acara tradisi. Baik itu, pada saat “assunna’ “ (sunatan), “ pa’buntingngang” (perkawinan), “ akkalomba” (tradisi adat pada saat seorang anak berusia sekitar dua tahunan), “attannung” (menenun),  “akkattere” (tradisi yang dilaksanakan saat seorang keluarga sudah merasa berkecukupan),  “ abbaca doang”  (tradisi adat untuk mengucap syukur kepada sang anugerah atas berkahnya), “a’dangang” (tradisi adat kematian seseorang), “andingingi” (ritual adat yang bertujuan meminta kepada sang Esa, perlindungan dan keselamatan), “ a’nganro” (ritual adat yang sangat sakral dan tidak boleh diexpose. Yang boleh mengikuti acara tersebut hanya petua-petua adat). Pada saat seperti itulah, kekeluargaan sangat-sangat tercermin di dalamnya.
 Sesuai isi “Pasang’’ yang salah satu penggalan kalimatnya tentang kegotong-royongan, kekeluargaan.   ‘’ a’ lemo sibatu”.  A’ lemo dalam bahasa Indonesia berarti jeruk bulat, sedangkan sibatu berarti satu (tunggal). Sehingga a’lemo sibatu berarti dapat dikatakan sebagai sebuah tekad kebersamaan  yang utuh disatukan.

  Secara umum, gambaran hal-hal yang dilarang (talama’ring) untuk dilakukan di dalam kawasan adat (baik antara orang adat maupun orang dari luar) yaitu antara lain:
a.   Dilarang membawa alat elektronik masuk ke dalam kawasan adat.
b.   Dilarang sembarang mengambil gambar disekitar kawasan adat.
c.  Diperingatkan bagi orang dari luar (tamu), agar tidak sembarang menegur secara langsung pada saat melihat sesuatu yang menurut mereka (tamu) lain dari yang lain.
d. Usahakan jangan berpakaian yang warnanya mencolok seperti warnah merah,     kuning, orange dan lain-lain (wajib warnah hitam).
e.   Dilarang bersentuhan atau berpegangan bagi orang yang bukan       “muhrimnya”.
f.   Dilarang berteriak-teriak atau berkata kasar. Termasuk pada saat ditempatnya “Bohe’ Amma”.
g.  Usahakan jangan memakai sandal pada saat masuk kawasan adat “Amma Toa”.
h.  Dilarang memasukkan instalasi listrik ke rumah-rumah penduduk adat “suku Konjo” yang ada di kawasan “Amma Toa”.

LINK LAIN
Disqus Comments